Tujuan Dumatubun dalam melakukan kajian terhadap Pengetahuan dan Perilaku Seksual Marind-Anim adalah ingin memberikan suatu deskripsi tentang sistem pengetahuan dan perilaku seksual Suku Marind-Anim berkenaan dengan berkembangnya penularan PMS dan HIV/AIDS yang semakin tinggi di Papua, khususnya di Kabupaten Merauke.
Warga Suku Marind Anim sekitar tahun 1935 (foto KITLV - Belanda) |
Konsep Kebudayaan dan Perilaku Seksual
Konsep seksualitas berdasarkan analisa Scholars, bahwa ekspresi seksual itu ditentukan oleh faktor biologi, dimana terjadi perbedaan keseimbangan hormon heteroseksual dari homoseksual. Tetapi semua kebudayaan dimana nilai homoseksual melebihi heteroseksual, kadangkala ada pada beberapa orang dalam waktu dan tempat tertentu, berdasarkan karakteristik hormon yang abnormal. Perbedaan antara pilihan seksual dan tingkah laku seksual tergantung pada perbedaan lingkungan alam dan kebudayaan bukan pada variasi biologi. Studi yang dilakukan oleh Clellan S. Ford dan Frank A. Beach (1951) di dalam studi lintas kebudayaan “Patterns of Sexual Behavior”, menemukan bahwa suatu variasi yang luas dalam bentuk-bentuk seksual terdapat dalam kebudayaan. Untuk dapat memahami bagaimana refleksi praktek seksual dipelajari, kami dapat berhubungan dengan variasi sosio-kultural dalam sikap tentang masturbasi, interspecific sex, dan homoseksualitas. Suatu keputusan sosial tentang homoseksual, masturbasi dan sifat interspecific sex dalam kebudayaan itu berbeda satu sama lainnya. Menurut beberapa ahli, (Ford, Beach, Howard, Ferraro, Gross, Bock), bahwa sebagian besar perilaku homoseksual tinggi di kalangan perempuan berdasarkan kebudayaan.Dengan didasarkan pada beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa faktor seksualitas tidak hanya ditentukan oleh kematangan biologis saja, tetapi faktor kebudayaan dan lingkungan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan perilaku seksual individu-individu terutama dalam perilaku homoseksual, heteroseksual, masturbasi, dan sifat interspecific sex. Berdasarkan konteks kebudayaan dalam membentuk perilaku seksual individu-individu penyandang kebudayaannya, maka perlu dianalisis bagaimana interpretasi perilaku seksual dilihat berdasarkan pendekatan kebudayaan.
Dalam model analisis kebudayaan lebih ditekankan pada “ideasionalisme” (ideationalism) (Keesing,1981; Sathe,1985). Berbicara tentang perilaku seksual menurut kebudayaan, maka unsur pengetahuan merupakan dasar utama pada perilaku seksual individu. Pengetahuan merupakan unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dari pengetahuan tersebut akan melahirkan berbagai dorongan naluri seperti halnya dorongan sex yang timbul pada tiap individu yang normal tanpa terkena pengaruh pengetahuan, dan memang dorongan ini mempunyai landasan biologi yang mendorong mahluk manusia untuk membentuk keturunan guna melanjutkan jenisnya (Koentjaraningrat,1980:117-124). Hal ini secara kebudayaan didukung dalam satu sistem kognitif seperti dikemukakan oleh (Goodenough, dalam Casson, 1981:17) bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif, itu berarti suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai dan yang berada dalam pikiran anggota-anggota individu masyarakat. Bila dikaji lebih lanjut, hal ini berarti kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional” atau kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat.
Lebih jauh (Sathe, 1985:10) sebagai penganut ideasionalisme mengemukakan bahwa “ kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi penting yang dimiliki suatu masyarakat dan mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan perilaku anggota-anggotanya” Pada gilirannya dilandasi pada pemahaman budaya dengan berbagai konsep seperti “dimensi kognitif”, “pengetahuan”, “materi ideasional” atau “fenomena mental” yang dikemukakan oleh Goodenough, Keesing dan Moore, Barth dan Vayda (dalam Borofsky, 1994) itu terwujud dalam aktivitas individu atau kelompok. Perwujudan budaya dalam praktek dimaksudkan bahwa ide, pengetahuan, keyakinan, nilai, tujuan dan keinginan akan membimbing dan menentukan tindakan setiap pelaku seksual yang pada gilirannya bisa membawa akibat yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Teori yang berkaitan dengan idesionalisme menekankan konsep utama adalah kebudayaan, bukan perilaku, tetapi perilaku merupakan konsekuensi logis yang tidak terpisahkan dari kebudayaan. Bila dikaitkan dengan pendapat James P. Spradley (1997-11), seorang aliran antropologi kognitif menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Ini berati bahwa dengan membatasi defenisi kebudayaan dengan pengetahuan yang dimiliki bersama, kita tidak menghilangkan perhatian pada tingkah laku, adat, objek, atau emosi. Sedangkan konsep kebudayaan sebagai sistem simbol yang mempunyai makna banyak, mempunyai persamaan dengan interaksionisme simbolik, sebuah teori yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna interaksionisme simbolik berakar dari karya Cooley, Mead, dan Thomas. Berdasarkan hal tersebut maka Blumer (1969) (1997:6-8) mengidentifikasikan tiga premis sebagai landasan teori, yaitu
(1) premis pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu bagi mereka. Misalnya para pelaku seksual melakukan berbagai hal atas dasar makna yang terkandung dalam berbagai hal itu kepada mereka, dimana orang bertindak terhadap berbagai hal itu, tetapi terhadap makna yang dikandungnya;
(2) premis kedua, yang mendasari interaksionisme simbolik adalah bahwa makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi seseorang dengan orang lain. Berarti kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan dan didefenisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Seksualitas mempunyai defenisi yang sama mengenai tingkah laku seksualitas melalui interaksi satu sama lain dan melalui hubungan dengan perilaku seksualitas dimasa lalu. Hal ini berarti budaya masing-masing kelompok dalam perilaku seksual, terikat dengan kehidupan sosial komunitas mereka yang khas;
(3) premis ketiga, dari interaksionisme simbolik adalah bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi. Ini berarti perilaku seksual dilakukan dengan menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasi situasi seksualitas tersebut. Pada suatu saat seseorang akan menginterpretasikan perilaku seksual itu berbeda dengan cara yang agak berbeda sehingga memunculkan reaksi yang berbeda pula. Dapatlah dilihat aspek penafsiran perilaku seksual itu secara lebih jelas apabila kita menganggap kebudayaan sebagai suatu peta berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari. Peta kognitif berperan sebagai pedoman untuk bertindak dan menginterpretasikan pengalaman, dan tidak memaksakan untuk mengikuti suatu urutan tertentu. Dengan demikian kebudayaan memberikan prinsip-prinsip untuk menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap perilaku seksual di kalangan individu-individu dalam suatu masyarakat penyandang kebudayaannya.
Untuk lebih memahami perilaku seksual secara struktural dan fungsional berdasarkan pemahaman kebudayaan masyarakat, suatu pendekatan yang perlu digunakan untuk mengkaji masalah pengetahuan dan perilaku pada suku bangsa Marind-Anim, yaitu dengan pendekatan Struktural-Fungsional. Model-model analisis atau pendekatan bagi studi antropologi kesehatan diletakkan pada gagasan-gagasan yang berasal dari tokoh-tokoh struktural-fungsionalisme Radcliffe-Brown dan Malinowski. Radcliffe-Brown melihat struktur sosial sebagai jaringan hubungan dari relasi-relasi yang nyata ada antar individu atau kelompok dalam masyarakat (Baal, 1987:91-98). Dalam hubungan dengan seksualitas, pendapat demikian adalah bahwa tingkah laku seksual merupakan satu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan antara individu sehingga dengan demikian tingkah laku seksual merupakan bagian dari struktur masyarakat. Dengan kata lain pemahaman tentang pengetahuan dan perilaku seksual termasuk dalam pengetahuan tentang mekanisme perilaku sosial atau akan terwujudnya tindakan sosial dan tatanan sosial untuk memahami realitas bersama seperti dikatakan oleh Clifford Geerzt, (1989:75). Budaya merupakan pabrik pengertian, dengan apa manusia menafsirkan pengalaman dan menuntun tindakan mereka; struktur sosial ialah bentuk yang diambil tindakan itu, jaringan hubungan sosial. Jadi budaya dan struktur sosial adalah abstraksi yang berlainan dari fenomena yang sama.
Selanjutnya Malinowski memberikan penekanan pentingnya arti elemen satu terhadap elemen-elemen budaya lainnya dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti bahwa setiap unsur atau setiap aspek mempunyai fungsi-fungsi dalam hubungannya dengan unsur atau aspek lainnya dalam kerangka kebudayaan tertentu. Akibatnya, bila terjadi perubahan, yang terjadi pada satu unsur dari organisasi sosial dalam rangka penegakan tatanan sosial (Baal, 1989:49-51). Menurut pendekatan ini jika hendak memahami suatu bagian atau struktur tertentu maka kita harus melihat fungsi-fungsinya terhadap keseluruhan sistem. Model ini tidak mempersoalkan sejarah terbentuknya “suatu kebiasaan atau praktek dalam masyarakat akan tetapi yang dilihat adalah konsekuensinya” bagi kehidupan dan perkembangan masyarakat seperti apa yang dikemukakan oleh Spencer dan Durkheim (Muzaham,1995:9-10). Hal ini berarti bahwa segala praktek serta struktur dalam masyarakat mempunyai manfaat tertentu bagi kelangsungan hidup suatu kelompok sosial. Misalnya dalam tatanan adat bahwa budaya perilaku seksual homoseksual dan heteroseksual pada orang Marind-Anim berkaitan dengan fungsi dan struktur sosial masyarakat khususnya dalam simbol kesuburan, dan keperkasaan, itu bisa berubah, akibatnya keseimbangan struktur dan fungsi sosial secara adat akan terganggu dan ini bisa tertata kembali secara otomatis.
Gambaran Beberapa Kasus Seksualitas di Papua
Kebanyakan studi antropologi mengenai masyarakat pedesaan menggunakan metode etnografi yang hampir sebagian besar digunakan oleh para ahli antropologi untuk dapat memahami kebudayaan masyarakat yang diteliti. Holmes John H. (1924: 172, 175) In Primitive New Guinea: An Account of a Quarter of a Century Spent Amongs the Primitive Ipi and Namau groups of Tribes of the Gulf of Papua, with an Interesting description of their Manner of Living, their Customs and Habits, Feasts and Festivals,Totems and Cults. London: Seeley Service. Penelitian tersebut merupakan kajian etnografi yang mendeskripsikan tentang kelompok primitif Ipi dan Namau di teluk Papua. Penekanannya pada persoalan kehidupan dan perilaku seksual (heteroseksual), adat istiadat dan kebiasaannya, pesta-pesta dan festival-festival, totem dan yang berhubungan dengan perilaku kebudayaan, terutama dalam aktivitas pesta-pesta serta kehebatan dalam mengayau.
Williams, Francis E., (1924: 211-214) The Natives of the Purari Delta. Territory of Papua, Anthropology Report No.5. Port Moresby: Government Printer. Penelitian tersebut merupakan penelitian etnografi pada penduduk asli Delta Purari. Lebih banyak mendeskripsikan kondisi kebudayaan yang berhubungan dengan orang Purari, persetubuhan sebelum menikah yang dikaitkan dengan upacara secara rutin. Pokok upacara heteroseksual khusus digarap secara cermat dengan mengikuti tingkat keberhasilan dalam mengayau dan termasuk perolehan nilai gelang tangan kerang dari pasangan hubungan seksual perempuan. Williams, Francis E. (1936:24,159-160). Papuans of the Trans-Fly, Oxford: Clarendon Press. Dalam penelitian etnografi ini, Williams mendeskripsikan penduduk yang berada di daerah Trans-Fly sebelah selatan Papua Niguni. Dalam salah satu bagian, dikemukakan tentang bagaimana situasi homoseksual yang dijalankan oleh penduduk berdasarkan konsep kebudayaan. Penduduk Trans Fly, melakukan hubungan seksual berdasarkan hubungan upacara homoseksual dengan suka sama suka, dan istrinya bisa ditukarkan kepada laki-laki lain untuk berhubungan seksual, dan itu menjadi kenyataan.
Landtman, Gunnar (1927:ch.24). The Kiwai Papuans of British New Guinea: A Nature-born Instance of Rousseau’s Ideal Community. London. Macmillan (Reprinted, 1970, Johnson Reprint Co). Penelitian tersebut merupakan penelitian etnografi pada orang Kiwai di Papua Niguni yang menggambarkan situasi hubungan seks lebih banyak mengarah pada aktivitas kebudayaan. Pengungkapan secara nyata tentang perilaku seks berdasarakan kebudayaan masyarakat tersebut dinyatakan secara detail. Persetubuhan dilakukan dengan siapa saja dan ditegaskan terutama untuk menghasilkan cairan seks (sperma) guna meningkatkan kesuburan. Dalam hubungan seksual, ini lebih penting dalam ritual kesuburan, mouguru. Upacara persetubuhan juga dilakukan oleh suami dan isteri yang tua bertujuan untuk menghasilkan cairan sperma untuk maksud perluasan spiritual.
Baal, Jan van (1966: 808-818). Dema: Description and Analysis of Marind-Anim Culture (South New Guinea), The Hague. Dalam penelitian etnografi ini, Jan van Baal mendeskripsikan dan menganalisa Dema dalam konteks kebudayaan orang Marind-Anim di selatan Papua. Lebih jauh dijelaskan dalam salah satu bagian tentang konsep seks heteroseksual yang ada dalam kebudayaan orang Marind-Anim dengan penekanan pada persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah banyak terdapat pada upacara dan beberapa pesta adat besar untuk maksud peningkatan kesuburan. Beberapa dari upacara seksual ini dikelompokkan pada kaum lekaki yang sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh keberhasilan dalam mengayau dengan satu atau dua orang perempuan muda. Laporan dari A South Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara heteroseksualitas membuat suatu tingkat tertinggi dari bentuk sterilisasi wanita Marind-Anim pada jaman sebelum kolonial.
Serpenti, Laurent M (1968) Headhunting and Magic on Kolepom (Frederik-Hendrik Island, Irian Barat) Tropical Man 1:116-139. Dalam penelitian etnografi ini lebih ditekankan pada kebudayaan mengayau pada orang Kolepom, dimana kehebatan seseorang dalam mengayau akan dinyatakan dalam upacara dan pada saat itu dapat berhubungan seks secara heteroseksual dengan wanita yang telah menikah atau wanita yang telah memasuki masa puber dan dilakukan dalam upacara inisiasi. Serpenti, Laurent M (1984). The Ritual Meaning of Homosexuality and Pedophilia among the Kimam-Papuans of South Irian Jaya. In Ritualized Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp.292-336. Berkeley: University of California Press. Dalam penelitian etnografi ini Serpenti lebih menekankan pada arti upacara homoseksual dan pedohilia diantara orang Papua Kimam. Di sini digambarkan bahwa persetubuhan dalam upacara seksual antara seorang laki yang sudah menikah dengan seorang perempuan puber yang memasuki masa dewasa dalam kegiatan inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan masa kedewasaan perempuan. Sedangkan hubungan seks secara heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja bagi wanita yang telah menikah, dalam akhir dari kegiatan suatu pesta kematian, dan dalam akhir kegiatan mengayau.
Zegwaard, Gerard A. dan J.H.M.C. Boelaars (1982:21-23). Social Structure of the Asmat People. (Annotated translation by Frank A. Trenkenschuh and J. Hoggebrugge of “De Sociale Structuur van de Asmat-bevolking”) dalam An Asmat Sketch Book No.1. Edited by Frank A. Trenkenschuh, pp.13-29. Hastings, NE: Crosier Missions. Dalam penelitian etnografi ini dijabarkan secara deskriptif tentang struktur sosial orang Asmat. Di dalamnya disajikan uraian tentang bagaimana hubungan seks secara heteroseksual yang berkaitan dengan status seseorang dalam kepemimpinannya. Kehebatannya dalam mengayau sebagai simbol keperkasaannya, sehingga dapat berhubungan seks secara bebas dengan menukarkan istri, atau dengan laki-laki yang disenangi (bagi wanita). Di antara orang Asmat, terjadi penukaran istri dalam pesta Papiis kadang dalam skala kecil suatu upacara. Secara umum persetubuhan secara heteroseksual bebas dengan pilihan wanita yang menghias dirinya guna mengikuti kegiatan pengayauan, atau laki-laki sesudah lulus dari rumah laki-laki, dan pada saat diadakan upacara pengukiran patung nenek moyang (bis).
Eyde, David B. ( 1967: 205-210) Cultural Correlates of Warfare among the Asmat of South-West New Guinea. Ph.D dissertation, Departement of Anthropology, Yale University. New Haven. CT. Dalam penelitian etnografi ini dideskripsikan korelasi kebudayaan tentang peperangan pada orang Asmat di selatan Papua. Dalam salah satu bagian dijelaskan tentang hubungan peperangan dengan hubungan seks secara heteroseksual. Konsep kepemimpinan membawa status seseorang untuk dinilai lebih hebat dan dapat berhubungan seks secara bebas dengan wanita lain yang disenangi atau istri orang lain yang disenangi.
Schneebaum, Tobias (1988: 83). Where the Spirits Dwell: An Odyssey in the New Guinea Jungle. New York: Grove Weidenfeld. Dalam penelitian etnografi ini dideskripsikan tentang dimana roh itu tinggal, sebuah pengembaraan di hutan Papua. Di salah satu bagian dijabarkan tentang kehidupan roh yang dikaitkan dengan kosmologi serta status seseorang. Di sini dengan adanya perubahan sosial tersebut mengundang mereka untuk melakukan hubungan seks secara heteroseksual dengan perempuan serta ibu-ibu yang disenangi. Konteks ini lebih menjelaskan pada konsep kebudayaan orang Asmat dalam kehidupan mereka.
Kuruwaip, Abraham (1984: 14) The Asmat Bis Pole: Its Background and Meaning. In An Asmat Sketch Book No.4. Edited by Frank Trenkenschuh, pp.11-30. Hastings, NE: Crosier Missions. Dalam penelitian etnografi ini dideskripsikan tentang latar belakang dan arti dari pada suatu patung Bis pada orang Asmat. Di dalam salah satu bagian dijabarkan bagaimana hubungan upacara pembuatan patung bis dengan kegiatan heteroseksual. Upacara pembuatan patung bis bagi orang Asmat akan didahului dengan bentuk upacara yang akan dihubungkan dengan perilaku seks diantara mereka secara heteroseksual. Sowada, Alphonse (Msgr.) (1961: 95) Socio-Economic Survey of the Asmat Peoples of Southwestern New Guinea . M.A. Thesis, Department of Anthropology, Catholic University of America, Washington, DC. Dalam penelitian etnografi ini dijelaskan tentang sosio-ekonomi pada orang Asmat di selatan Papua. Dalam uraiannya disajikan juga aktivitas seks di kalangan orang Asmat dalam kegiatan sosio-ekonominya.
Kampen, A. van (1956: 73-76). Wilkende Wildernis: Onder Kannibalen en Christen-Papoeas’s. Amsterdam: Uitgeverij C. de Boer, Jr. Dalam penelitian etnografi ini mendeskripsikan bagaimana keinginan kehidupan rimba raya di bawah kanibal dan Kristen Papua. Kehidupan budaya dalam konsep kanibal selalu dikaitkan dengan adanya suatu hubungan seks secara heteroseksual yang umumnya terdapat pada orang Papua.
Herdt, Gilbert H. (1984a) Ritualized Homosexual Behavior in the Male Cults of Melanesia; (1992), Retrospective on Ritualized Homosexuality in Melanesia: Introduction to the New Edition. In Ritualized Homosexuality in Melanesia, 2nd edn. Berkeley: University of California Press. Dalam penelitian etnografi dengan deskripsinya tentang perilaku seksual pada orang Melanesia yang penekanannya pada dimensi ritual tentang praktek homoseksual. Homoseksual pada orang Melanesia ditentukan oleh kosmologi secara baik sebagai suatu orientasi erotik, ditentukan oleh kepercayaan hidup yang kuat bahwa insiminasi selalu terjadi ketika seorang anak laki memasuki kedewasaannya. Praktek homoseksual secara reguler dilakukan dalam praktek ritual khususnya didalam inisiasi kaum laki dalam konteks pengayauan dan menjadi praktis di dalam lingkaran kehidupan laki-laki yang ditegaskan dalam masyarakat Melanesia. Studi ini lebih banyak menyajikan analisa kebudayaan dengan melihat pada aspek seksual secara ritual dan dideskripsikan dengan analisa etnografi kebudayaan orang Melanesia.
Bruce M. Knauft (1993), South Coast New Guinea Cultures: History, Comparison, Dialectic, New York. Cambridge University Press. Dalam penelitian etnografinya, mendeskripsikan kondisi budaya masyarakat di selatan Papua dengan studi perbandingan perilaku seksual dari suku bangsa di Papua Niguni bagian selatan, Asmat dan Marind-Anim dengan analisa karakteristik regional dan simbolik serta permutasian sosio-politik berdasarkan latar belakang sejarah dan konfigurasi regional. Analisisnya lebih banyak didasarkan pada analisa interpretasi etnografi dengan penekanan pada kebudayaan masyarakatnya.
Kajian kebudayaan yang berhubungan dengan Pandangan, Kepercayaan, Sikap dan Perilaku Seksual (PMS) pada Masyarakat Dani (1997), yang dilakukan oleh Nico A. Lokobal; G. Yuristianti; Deri M. Sihombing; dan Susana Srini, melakukan pengkajian dengan menggunakan data kebudayaan dengan analisa Rapid Assessment Procedures (RAP) atau Rapid Ethnographic Assessment (REA). Kajian lebih mengarah pada gambaran kebudayaan masyarakat Dani tentang seksualitas mencakup persepsi, sikap, kepercayaan dan perilaku yang dihubungkan dengan penyakit menular seksual. Hasil analisisnya lebih mengutamakan kerangka berpikir masyarakat berdasarkan konsep kebudayaan mereka.
Penelitian seksual pada suku bangsa Arfak juga dilakukan oleh David Wambrauw dengan judul Perilaku Seksual Suku Arfak (2001), Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih, lebih banyak menyoroti latar belakang kebudayaan suku Arfak dengan pendekatan Rapid Ethnographic Assessment (REA). Analisisnya ditujukan pada latar belakang kebudayaan suku Arfak khusunya berkaitan dengan pemahaman mereka tentang perilaku seksual dan ditambah dengan analisa pemahaman tentang PMS, HIV/AIDS serta bentuk-bentuk industri seks. Perilaku seksual ini lebih banyak dikaitkan dengan pemahaman adat-istiadat, faktor penunjang serta jaringan penularan yang mendukung adanya perilaku seksual yang dapat menimbulkan penyakit menular seksual serta HIV/AIDS. Hal yang sama dalam penelitiannya berjudul Perilaku Seks Sebagai Peluang Penularan Penyakit AIDS di Jayapura, (1994). Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih, lebih banyak menggunakan observasi langsung ke lokasi-lokasi penelitian dan dikemukakan kondisi perilaku seks dikalangan wanita penghibur Non-Papua dan etnis Papua serta menggambarakan lokasi-lokasi beropersinya penjaja seks. Analisis dikaitkan dengan faktor penunjang kemungkinan timbulnya PMS, HIV/AIDS secara mudah melalui sarana-sarana seperti pertumbuhan lokasi prostitusi, migran ulang alik lintas negara, tingkat pendidikan yang rendah, wanita panggilan, laki-laki pelanggan seks, serta kondisi ekonomi yang rendah.
Beberapa artikel yang ditulis oleh Dr. Gunawan Ingkokusuma, MPH, MA yang berjudul “Peranan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam Penanggulangan Epidemi HIV” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura, Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Tulisannnya lebih menyoroti tentang perkembangan situasi HIV/AIDS di tanah Papua, faktor-faktor penyebaran epidemi HIV serta peranan Lembaga Masyarakat Adat dalam nenanggulangi masalah HIV/AIDS di tanah Papua. Tulisan yang sama tentang HIV/AIDS yang ditulis oleh Dr. La Pona Msi yang berjudul “Determinan Penanggulangan Penularan HIV/AIDS dalam Masyarakat Majemuk di Papua” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura, Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Juga tulisan yang dikemukakan oleh Drs. John Rahail MKes., dengan berjudul “Desentralisasi dan Penanggulangan AIDS di Papua” dalam Buletin Populasi Papua.Vol.1,No.3 April 2001. Tulisannya lebih menyoroti tentang pertumbuhan HIV/AIDS di Papua dengan melihat pada faktor-faktor pendukung. Kajian yang sama tentang perilaku seksual juga ditulis oleh Drs. Djekky R. Djoht MKes., yang berjudul “Perilaku Seksual, PMS dan HIV/AIDS di Kecamatan Sarmi dan Pantai Timur Tanah Papua” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura, Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Pendekatan yang digunakan adalah analisa etnografi dengan model Rapid Ethnographic Assessment (REA) dan sasaran analisa lebih banyak dikaitkan dengan konteks kebudayaan yang berhubungan dengan masalah seksual di kalangan suku bangsa Sarmi. Melihat bagaimana konteks kebudayaan dapat mendukung perilaku seksual di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat merupakan faktor pendukung untuk timbulnya penyakit menular seksual, HIV/AIDS dengan mudah.
Suatu penelitian tentang Program Seksualitas Orang Papua (The Papuan Sexuality Program ,2002) yang dilakukan pada tiga kabupaten (Merauke, Jayapura, dan Jayawijaya) oleh USAID-FHI Aksi Stop AIDS kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih, ed. Leslie Butt, Ph.D. mengahsilkan suatu gambaran tentang kondisi HIV/AIDS di Papua dengan menggunakan metode Antropologi dan pendekatan Rapid Anthropological Assessment Procedures (RAAP). Kajian lebih ditekankan pada kajian etnografi dengan penekanan pada latar belakang kebudayaan orang Papua yang menjadi sasaran penelitian seksualitas. Penelitian ini lebih menekankan pada analisa terapan guna mengatasi masalah HIV/AIDS dengan program AKSI Stop AIDS, melalui aksi penggunaan kondom. Analisa faktor budaya dan faktor pendukung lainnya juga dikaji (ekonomi, narkoba, adat-istiadat, pendidikan rendah, kondisi keluarga/ orang tua cerai dan meninggal) sebagai pendukung cepatnya meningkat penderita HIV/AIDS melalui perilaku seks bebas. (bersambung)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (1)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (2)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (3)
0 Response to "HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (2)"
Posting Komentar