Jika bicara masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), Provinsi Papua sering menjadi sorotan. Sebab, provinsi di ujung timur Indonesia itu tergolong memiliki kasus HIV-AIDS tertinggi di Indonesia. Salah satunya penyebab HIV-AIDS sendiri adalah adanya perilaku seks yang lebih dari satu pasangan. Pertanyaannya adalah, mungkinkah tingginya kasus HIV-AIDS di Papua itu terkait adanya budaya seks bebas di kalangan masyarakat setempat? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu melakukan penilian mendalam. Namun, kalau melihat berbagai literatur penelitian, perilaku seks orang Papua rupanya sudah menjadi bahan kajian para ilmuan. Salah satunya adalah perilaku seks Suku Marind Anim. Seperti apakah perilaku seks Suku Marind Anim? Berikut rangkuman hasil kajian A.E. Dumatubun (Staf Dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih).
Warga Suku Marind Anim sekitar tahun 1921-1932 (foto KITLV - Belanda) |
Latar Belakang Kajian Pengetahuan dan Perilaku Seksual Marind-Anim
Di manakah Suku Marind Anim berada? Suku Marind Anim adalah salah satu suku bangsa yang tinggal di dataran luas Papua Barat bagian selatan, yakni mulai dari Selat Muli (Selat Marianne) sampai ke daerah perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini. Mereka juga tersebar di sekitar aliran sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe dan Maro. Daerah yang mereka diami termasuk dalam wilayah di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Ada yang berdiam di Kecamatan Okaba, Kecamatan Kimam dan Kecamatan Muting. Kondisi geografis yang mereka tempati merupakan dataran rendah bersavana dengan floranya yang mirip flora benua Australia dan dataran berawa-rawa yang ditumbuhi pohon sagu di sungai-sungai.
Ketika melakukan kajian tetang Pengetahuan dan Perilaku Seksual Marind-Anim, A.E. Dumatubun memiliki beberapa alasan. Alasan pertama didasarkan pada asumsi bahwa aspek perilaku seksual sangat erat dengan aspek budaya lainnya, sehingga pemahaman tentang kebudayaan dapat dicapai melalui pengkajian aspek pengetahuan dan perilaku seksual. Alasan yang kedua (alasan praktis), yakni belum banyak studi tentang kebudayaan Papua, khususnya suku bangsa Marind-Anim yang menjadikan aspek pengetahuan dan perilaku seksual sebagai tema khusus dalam kajian-kajiannya. Menurut Dumatubun, pemahaman tentang aspek pengetahuan dan perilaku seksual, suku bangsa Marind-Anim sangat penting dan bisa berguna bagi penyusunan kebijakan pembangunan di bidang kesehatan, terutama didaerah-daerah yang menjadi sasaran pengembangan kesehatan, yang berhubungan dengan penyakit menular seksual.
Kajian Antropologi Soal Seksualitas di wilayah Selatan Papua
Kajian para ahli antropologi melihat bahwa daerah di sebelah selatan Papua terdapat masalah seksualitas, yakni sebagai pusat wilayah “homoseksual” di mana penduduknya dikategorikan sebagai “masyarakat homoseksual” (Feil 1987:ch.7; Lindenbaum 1984, 1987;cf. Herdt 1984a, 1991). Praktek nyata homoseksual dari beberapa peristiwa khusus masyarakat dapat dikategorikan sebagai tindakan utama dari kebiasaan, adat istiadat serta kepercayaan di sebagian besar wilayahnya. Sebagai fakta, sebagian besar penduduk di sebelah selatan New Guinea (Papua) termasuk masyarakatnya, dimana praktek seks berupa homoseksualitas dijadikan sebagai bagian dari upacara adat. Hal ini dapat dilihat disepanjang pantai selatan New Guinea (Papua), bahwa upacara adat yang berhubungan dengan heteroseksual sangat merata pada upacara homoseksualitas atau “boy-insemination” (Knauft 1993:80).
Suatu hasil kerja yang penting dari Gilbert Herdt (1981, 1984a, 1991, 1992) menggambarkan secara khusus tentang adat istiadat homoerotik pada orang Melanesia. Ia menggambarkan bahwa homoseksualitas pada orang Melanesia berbeda secara adat istiadat dan kepercayaan dengan orang luar, dalam suatu penelitian yang dilakukan mulai pada tahun 1980. Ia menemukan bahwa hubungan seks sebelum menikah yang menjurus pada heteroseksual itu berkembang secara luas bila dibandingkan dengan orientasi hubungan seks secara homoseksual. Herdt menegaskan bahwa kepercayaan-kepercayaan dan kegiatan nyata homoseksual dan homoerotik merupakan pusat perhatian khusus kajian antropologi. Hal ini karena analisa penting tentang adat istiadat serta kepercayaan orang Melanesia telah banyak dikaji oleh ahli antropologi dalam beberapa periode yang lampau. Lebih jauh Foucault (1980a:154) dan Hence menegaskan bahwa varian-varian dari kegiatan seksual dan hubungan gender sebagai suatu dimensi yang besar dari formasi sosio-kultural. (Knauft 1993:8). Dalam analisis Bruce M. Knauft (1993:45) menganggap bahwa aktivitas homoseksual laki sebagai suatu konsep termasuk dalam pandangan perubahan kompetisi, desentralisasi kepemimpinan, perkawinan tukar yang terbatas, dan rendahnya status perempuan.
Herdt’s (ed.1984) menegaskan bahwa inisial pada upacara homoseksualitas di selatan New Guinea (Papua), merupakan suatu fakta, bahwa homoseksualitas pada orang Melanesia sudah tertanam dalam
jangka waktu lama di dalam kebudayaan mereka. Lindenbaum (1984:342) memposisikan masyarakat Pegunungan Tinggi dan dataran rendah di New Guinea (Papua) dengan kebudayaan Melanesia, dimana ia kemukakan bahwa “kelompok semen” atau “kelompok air mani” dari kebudayaan dataran rendah dan pegunungan tinggi dalam beberapa “semen” atau “air mani” itu tidak mengisi aktivitas upacara dalam kehidupan. Ia menekankan bahwa ”kelompok semen” atau “kelompok air mani” dalam perilaku homoseksual laki muncul dalam upacara inisiasi dan masyarakat dengan heteroseksual di belahan tengah dan barat pegunungan tinggi, pada perubahan “air mani / semen”. (Lindenbaum 1987: 222).
Analogi dari Schiefenhovel (1990:415) mengkategorikan sebagai “sperm cultures” atau “budaya sperma” seperti pada masyarakat Melanesia dengan bentuk praktek upacara homoseksualitas. Lindenbaum (1987) juga berpendapat bahwa “masyarakat homoseksual” ada pada masyarakat di selatan New Guinea (Papua), demikian pula dengan Herdt (1991: 606) juga telah menetapkannya demikian.
Lebih jauh Herdt (1984a) menulis satu volume khusus tentang “Ritualized Homosexuality in Melanesian” menempatkan suatu konsep yang lebih tepat sebagai suatu gelar bagi dimensi ritual tentang praktek homoseksual. Homoseksual pada orang Melanesia digariskan sebagai kosmologi yang baik sebagai suatu orientasi erotik , tugas kepercayaan kehidupan yang kuat bahwa insiminasi seks selalu mengikuti perkembangan seorang anak laki menjadi dewasa. Praktek homoseksual selalu dilakukan bersamaan dalam praktek ritual, khusus sebagai pelopor dalam upacara inisiasi laki-laki dalam konteks budaya keperkasaan laki, dan menjadi suatu kegiatan yang universal dalam lingkaran kehidupan laki-laki pada Masyarakat Melanesia, khususnya juga di sebelah selatan New Guinea (Papua) (lihat Herdt 1984a, 1987a:ch.7, 1987b, 1991:pt.2).
Konsep Herdt tentang homoseksual orang Melanesia sebagai suatu upacara sangat penting, karena terjadi suatu transmisi aktual tentang “semen” atau “air mani” dalam suatu upacara orgasmus , dan dipertegas oleh Dundes (1976, 1978) bahwa birahi homoseksual mewujudkan tingkah laku seksual secara nyata. Sejauh ini praktek homoseksual yang ada pada “boy-insemination juga dinyatakan sebagai upacara homoseksual. Umumnya, upacara homoseksual terdapat pada suku bangsa-suku bangsa di sebelah pantai selatan New Guinea (Papua) antara Pantai Kasuari Asmat, Kolepom, Marind-Anim dan beberapa tempat di sungai Fly (Papua Niguni/PNG) dalam (Knauft 1993: 49-50).
Bruce M. Knauft (1993: 51-53) mengemukakan bahwa hubungan tidak sah dalam bentuk persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah atau penerimaan upacara heteroseksual itu nyata ada pada semua wilayah kebudayaan Papua di daerah pantai selatan New Guinea (Papua). Kebanyakan dari praktek heteroseksual sangat tinggi dalam kegiatan upacara, sebagaimana dikemukakan berikut ini:
- Diantara orang Purari, persetubuhan sebelum menikah selalu diupacarakan secara rutin dan inti dari upacara ini yaitu pengelompokkan antara laki dan perempuan. Upacara heteroseksualitas, khusus dinyatakan dalam keberhasilan mengayau dan penerimaan gelang tangan kerang dari pasangan seksual perempuan (Williams 1924:211-214; Holmes 1924:172,175)
- Dikalangan orang Kiwai, persetubuhan ditegaskan untuk menghasilkan cairan seksual guna meningkatkan kesuburan. Persetubuhan dilakukan dengan siapa saja. Dalam hubungan seksual, yang pada initinya lebih penting dalam ritual kesuburan, mouguru, dan digabungkan dengan peristiwa lain yaitu dengan pengelompokan heteroseksual (Landtman 1927:ch.24). Upacara persetubuhan juga dilakukan oleh suami dan isteri yang tua guna menghasilkan cairan seksual di dalam kepentingan spiritual yang lain.
- Pada orang Marind, persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah banyak terdapat pada upacara, beberapa pesta adat besar untuk maksud meningkatkan kesuburan (van Baal 1966: 808-818). Beberapa dari upacara seksual ini dilakukan oleh lekaki yang sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh keberhasilan dengan satu atau dua orang perempuan muda. Laporan dari A South Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara heteroseksualitas mengakibatkan adanya suatu tingkatan yang tinggi dalam sterilisasi, terutama pada wanita Marind di jaman sebelum kolonial (lihat Vogel dan Richens 1989). Orang Marind, biasanya sebelum menikah, laki dan perempuan tinggal terpisah pada rumah laki dan rumah perempuan. Setelah dewasa, mereka mulai mengenal, dalam suatu pesta yang berhubungan dengan upacara seksual. Hal ini selalu dikaitkan dengan konsep religius, karena untuk meningkatkan kesuburan adalah sangat penting. Dalam segala hal yang berhubungan dengan kesuburan, kehidupan dalam perkawinan, membuka kebun, awal dari kegiatan pengayauan, maka sebuah pesta yang berkaitan dengan hubungan seksual selalu dilakukan. Upacara hubungan seks (otiv bombari) dilakukan secara religius. Dalam peristiwa perkawinan, biasanya calon penganten perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan sepuluh laki-laki dari kerabat suaminya sebelum diserahkan kepada suaminya. Hal ini dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu harus diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut subur (Overweel, 1993:15)
- Di antara penduduk Trans Fly, upacara homoseksual, biasanya dilakukan dengan menukarkan istrinya kepada laki-laki lain, itu menjadi kenyataan (Williams 1936: 24,159-160).
- Pada orang Kolepom, hubungan seksual dalam upacara, biasanya antara seorang laki yang sudah menikah dengan seorang perempuan puber yang memasuki masa dewasa dalam suatu inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan bahwa ia telah dewasa. Sedangkan hubungan seks secara heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja diantara wanita yang telah menikah, setelah mengakhiri suatu kegiatan pesta kematian, dan kegiatan mengayau (Serpenti 1968,1977, 1984)
- Di kalangan orang Asmat, terjadi penukaran istri dengan lelaki yang disenangi, kadang-kadang dalam jumlah kecil pada suatu upacara. Secara umum persetubuhan secara heteroseksual bebas dengan wanita pilihannya, yang menghias dirinya dalam mengikuti kegiatan mengayau. Di lain pihak hubungan seks terjadi setelah laki-laki bebas dari rumah laki-laki, dan pada saat diadakan pengukiran patung nenek moyang (bis), (Zegwaard dan Boelaars 1982: 21-23; Eyde 1967: 205-210; Schneebaum 1988: 83; Kuruwaip 1984: 14; Sowada 1961: 95; van Kampen 1956: 73-76).
Dengan didasarkan pada alasan-alasan tersebut yang telah dikemukakan di atas, maka Dumatubun melakukan kajian tentang Pengetahuan dan Perilaku Seksual Marind-Anim. Kajiannya itu bertujuan memberikan suatu deskripsi dan penjelasan tentang sistem pengetahuan dan perilaku seksual yang ada pada suku bangsa Marind-Anim berkenaan dengan berkembangnya penularan PMS dan HIV/AIDS yang semakin tinggi di Papua khususnya di kabupaten Merauke. (Bersambung)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (1)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (2)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (3)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (2)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (3)
0 Response to "HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (1):"
Posting Komentar