Seperti halnya suku bangsa Papua lainnya, suku bangsa Marind-Anim juga mempunyai konsep seksualitas berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka. Secara struktural-fungsional, konsep seksualitas dalam kebudayaannya, memainkan peranan penting dalam menata aktivitas hidup mereka. Hal ini berarti perilaku seksual mempunyai makna yang penting dalam kehidupan warganya sesuai kebudayaan mereka.
Perilaku Seksual dalam Mite Ndiwa
Suku bangsa Marind-Anim menggambarkan filsafat hidup yang lebih tinggi, dimana mereka menata dunia ini dan diungkapkan dalam mitologi, upacara, dan praktek magi. Penataan ini terdapat dalam pembagian mahluk-mahluk menjadi satu susunan yang rapih, dinamis dalam tatanan hidup (dema – totem – klen). Karena itu bagi mereka akan terjadi keseimbangan antar kosmos bisa terjaga dan membawa kesuburan antara lingkungan mistik dan masyarakat. Dalam budaya Mayo, Imo, Sosom, ada upacara-upacara yang dilakukan secara religius, yang dimaksudkan untuk menhadirkan roh ilahi yang ada dalam diri Ndiwa. Makna dari upacara ini salah satunya untuk mendidik kaum pria remaja guna mendapat kekuatan ilahi dalam menjaga tatanan hidup yang seimbang antara manusia dan lingkungan. Lambang fisik dari Ndiwa adalah kelapa muda (onggat) sedangkan roh yang berbicara adalah bunyi meraung yang dihasilkan oleh Tangg ( benda keramat yang terbuat dari belahan nipah). Dalam kepercayaan ini, Ndiwa dibunuh lalu dagingnya yang sudah dicampur dengan sperma hasil sanggama terputus laki-laki dengan perempuan , lalu dibagikan kepada semua peserta untuk diminum supaya mendapat kekuatan ilahi. Inti dari upacara ini adalah:
Suku bangsa Marind-Anim menggambarkan filsafat hidup yang lebih tinggi, dimana mereka menata dunia ini dan diungkapkan dalam mitologi, upacara, dan praktek magi. Penataan ini terdapat dalam pembagian mahluk-mahluk menjadi satu susunan yang rapih, dinamis dalam tatanan hidup (dema – totem – klen). Karena itu bagi mereka akan terjadi keseimbangan antar kosmos bisa terjaga dan membawa kesuburan antara lingkungan mistik dan masyarakat. Dalam budaya Mayo, Imo, Sosom, ada upacara-upacara yang dilakukan secara religius, yang dimaksudkan untuk menhadirkan roh ilahi yang ada dalam diri Ndiwa. Makna dari upacara ini salah satunya untuk mendidik kaum pria remaja guna mendapat kekuatan ilahi dalam menjaga tatanan hidup yang seimbang antara manusia dan lingkungan. Lambang fisik dari Ndiwa adalah kelapa muda (onggat) sedangkan roh yang berbicara adalah bunyi meraung yang dihasilkan oleh Tangg ( benda keramat yang terbuat dari belahan nipah). Dalam kepercayaan ini, Ndiwa dibunuh lalu dagingnya yang sudah dicampur dengan sperma hasil sanggama terputus laki-laki dengan perempuan , lalu dibagikan kepada semua peserta untuk diminum supaya mendapat kekuatan ilahi. Inti dari upacara ini adalah:
- (a) inisiasi bagi para remaja supaya menjadi anggota masyarakat secara penuh;
- (b) membawa kesuburan dan dan keseimbangan hidup manusia;
- (c) mengadakan hubungan dengan para leluhur.
Perilaku Seksual dalam Upacara Bambu Pemali (Barawa)
Bambu Pemali adalah suatu proses belajar seks menurut aliran Mayo. Menurut aliran Mayo, manusia pertama adalah “Geb” yang diberikan tanggung jawab untuk melestarikan alam dengan makan buah Kawalik yang mengembara sampai ke kali Goroka dan mengganti kulit (Ibahu) . Sewaktu mengembara ada tanah (Tanawu Geize) yaitu “setan purba”. Sewaktu tidur ada dewa dari atas yang melindungi kamu, maka diperintahkan oleh Tanawi Geize untuk menghilangkan dewa dari atas dengan cara mengosok tiang-tiang rumah dengan sperma agar tidak suci lagi. Pada saat itulah diajarkan untuk laki-laki dan perempuan berhubungan seks supaya bisa keluar spermanya melalui hubungan antara “perai” = vagina dengan “ezom” = penis. Melalui perai inilah yang akan melahirkan manusia. Pada saat itulah mereka mulai melakukan hubungan seks secara bebas.
Bambu Pemali adalah suatu proses belajar seks menurut aliran Mayo. Menurut aliran Mayo, manusia pertama adalah “Geb” yang diberikan tanggung jawab untuk melestarikan alam dengan makan buah Kawalik yang mengembara sampai ke kali Goroka dan mengganti kulit (Ibahu) . Sewaktu mengembara ada tanah (Tanawu Geize) yaitu “setan purba”. Sewaktu tidur ada dewa dari atas yang melindungi kamu, maka diperintahkan oleh Tanawi Geize untuk menghilangkan dewa dari atas dengan cara mengosok tiang-tiang rumah dengan sperma agar tidak suci lagi. Pada saat itulah diajarkan untuk laki-laki dan perempuan berhubungan seks supaya bisa keluar spermanya melalui hubungan antara “perai” = vagina dengan “ezom” = penis. Melalui perai inilah yang akan melahirkan manusia. Pada saat itulah mereka mulai melakukan hubungan seks secara bebas.
Perilaku Seksual dalam Upacara Ezam Uzum
Adat suku bangsa Marind-Anim dalam upacara Ezam Uzum dalam aliran Mayo, maka setiap hiasan ada hubungan dengan seks. Setiap melakukan upacara, maka kepala adat atau pemimpin upacara selalu akan melakukan hubungan seksual dengan ibu-ibu janda sebanyak tiga sampai lima orang ibu. Tujuan dari hubungan seksual tersebut guna mendapatkan sperma, yang akan dipakai dalam kepentingan upacara tersebut, karena sperma tersebut melambangkan kesucian guna mengusir setan. Biasanya dikaitkan pula dengan upacara “Yawal” atau “beralih tidak mati”
Adat suku bangsa Marind-Anim dalam upacara Ezam Uzum dalam aliran Mayo, maka setiap hiasan ada hubungan dengan seks. Setiap melakukan upacara, maka kepala adat atau pemimpin upacara selalu akan melakukan hubungan seksual dengan ibu-ibu janda sebanyak tiga sampai lima orang ibu. Tujuan dari hubungan seksual tersebut guna mendapatkan sperma, yang akan dipakai dalam kepentingan upacara tersebut, karena sperma tersebut melambangkan kesucian guna mengusir setan. Biasanya dikaitkan pula dengan upacara “Yawal” atau “beralih tidak mati”
Perilaku Seksual dalam Upacara Subawakum
Dalam upacara subawakum biasanya semua perempuan memasukkan “bambu gila” atau “welu” di celah pangkal paha dan dipegang ramai-ramai sepanjang malam . Biasanya pasangan perempuan dari dua paroh yang berbeda yang memegang yaitu dari Gebze dan Sami. Kalau klen Sami memegang bambu gila pada malam hari, maka menjelang hampir siang akan dibantu oleh klen Gebze, maka terjadilah proses tolong menolong yang disebut “Subawakum”. Akhir dari proses tolong menolong inilah maka terjadilah hubungan seksual dengan penukaran pasangan.
Dalam upacara subawakum biasanya semua perempuan memasukkan “bambu gila” atau “welu” di celah pangkal paha dan dipegang ramai-ramai sepanjang malam . Biasanya pasangan perempuan dari dua paroh yang berbeda yang memegang yaitu dari Gebze dan Sami. Kalau klen Sami memegang bambu gila pada malam hari, maka menjelang hampir siang akan dibantu oleh klen Gebze, maka terjadilah proses tolong menolong yang disebut “Subawakum”. Akhir dari proses tolong menolong inilah maka terjadilah hubungan seksual dengan penukaran pasangan.
Perilaku Seksual dalam Upacara Kambara
Menurut aliran Mayo, ada Allah atau “Alawi” yang mengatur keseimbangan. Ada seseorang yang diutus Alawi untuk mengatur alam semesta yaitu seseorang yang disebut “Tik-Anem”. Tik-Anem menyebarkan epidemi kepada manusia dan binatang yang sudah tidak seimbang lagi dengan alam semesta, dan akan membunuh manusia yang sudah berlebihan dalam satu desa dengan menggunakan kekuatan hipnotis. Biasanya sebelum dibunuh ada peradilan yang diputuskan oleh orang tua (Zambanem) pada upacara Kambara. Kekuatan yang dipakai untuk membunuh orang-orang tersebut dengan menggunakan sperma. Untuk mendapatkan sperma tersebut, maka orang tua yang perkasa dan kuat akan mengadakan hububngan seksual dengan wanita dari kampung itu. Jadi seorang wanita bisa bersetubuh dengan lima orang laki-laki perkasa untuk mengumpulkan spermanya. Menurut suku bangsa Marind-Anim sperma dipakai untuk membunuh karena mempunyai kekuatan, bisa membunuh dan menyembuhkan orang.
Menurut aliran Mayo, ada Allah atau “Alawi” yang mengatur keseimbangan. Ada seseorang yang diutus Alawi untuk mengatur alam semesta yaitu seseorang yang disebut “Tik-Anem”. Tik-Anem menyebarkan epidemi kepada manusia dan binatang yang sudah tidak seimbang lagi dengan alam semesta, dan akan membunuh manusia yang sudah berlebihan dalam satu desa dengan menggunakan kekuatan hipnotis. Biasanya sebelum dibunuh ada peradilan yang diputuskan oleh orang tua (Zambanem) pada upacara Kambara. Kekuatan yang dipakai untuk membunuh orang-orang tersebut dengan menggunakan sperma. Untuk mendapatkan sperma tersebut, maka orang tua yang perkasa dan kuat akan mengadakan hububngan seksual dengan wanita dari kampung itu. Jadi seorang wanita bisa bersetubuh dengan lima orang laki-laki perkasa untuk mengumpulkan spermanya. Menurut suku bangsa Marind-Anim sperma dipakai untuk membunuh karena mempunyai kekuatan, bisa membunuh dan menyembuhkan orang.
Perilaku Seksual dalam Adat Perkawinan
Orang Marind, biasanya sebelum menikah, laki dan perempuan tinggal terpisah pada rumah laki dan rumah perempuan. Setelah dewasa, mereka mulai mengenal, dalam suatu pesta yang berhubungan dengan upacara seksual (berhubungan seks). Hal ini selalu dikaitkan dengan konsep religius, karena untuk meningkatkan kesuburan adalah sangat penting. Dalam segala hal yang berhubungan dengan kesuburan, kehidupan dalam perkawinan, membuka kebun, awal dari kegiatan pengayauan, maka sebuah pesta yang berkaitan dengan hubungan seksual selalu dilakukan. Upacara heteroseksual yang disebut “aili” atau “arih” dimana sejumlah besar laki-laki dan perempuan terlibat dalam suatu hubungan seks heteroseksual bebas. Dalam upacara khusus hubungan seks (otiv bombari) dilakukan secara religius dalam peristiwa perkawinan. Biasanya calon penganten perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan sepuluh laki-laki dari kerabat suaminya sebelum diserahkan kepada suaminya. Hal ini dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu harus diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut subur dan bertambah kuat (Overweel, 1993:15) Pada orang Marind, persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah banyak terdapat pada upacara, beberapa pesta adat besar untuk maksud meningkatkan kesuburan dan menambah kecantikan bagi wanita (van Baal 1966: 808-818). Beberapa dari upacara seksual ini dilakukan oleh lekaki yang sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh keberhasilan dengan satu atau dua orang perempuan muda. Laporan dari A South Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara heteroseksualitas mengakibatkan adanya suatu tingkatan yang tinggi dalam sterilisasi, terutama pada wanita Marind di jaman sebelum kolonial (lihat Vogel dan Richens 1989).
Orang Marind, biasanya sebelum menikah, laki dan perempuan tinggal terpisah pada rumah laki dan rumah perempuan. Setelah dewasa, mereka mulai mengenal, dalam suatu pesta yang berhubungan dengan upacara seksual (berhubungan seks). Hal ini selalu dikaitkan dengan konsep religius, karena untuk meningkatkan kesuburan adalah sangat penting. Dalam segala hal yang berhubungan dengan kesuburan, kehidupan dalam perkawinan, membuka kebun, awal dari kegiatan pengayauan, maka sebuah pesta yang berkaitan dengan hubungan seksual selalu dilakukan. Upacara heteroseksual yang disebut “aili” atau “arih” dimana sejumlah besar laki-laki dan perempuan terlibat dalam suatu hubungan seks heteroseksual bebas. Dalam upacara khusus hubungan seks (otiv bombari) dilakukan secara religius dalam peristiwa perkawinan. Biasanya calon penganten perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan sepuluh laki-laki dari kerabat suaminya sebelum diserahkan kepada suaminya. Hal ini dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu harus diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut subur dan bertambah kuat (Overweel, 1993:15) Pada orang Marind, persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah banyak terdapat pada upacara, beberapa pesta adat besar untuk maksud meningkatkan kesuburan dan menambah kecantikan bagi wanita (van Baal 1966: 808-818). Beberapa dari upacara seksual ini dilakukan oleh lekaki yang sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh keberhasilan dengan satu atau dua orang perempuan muda. Laporan dari A South Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara heteroseksualitas mengakibatkan adanya suatu tingkatan yang tinggi dalam sterilisasi, terutama pada wanita Marind di jaman sebelum kolonial (lihat Vogel dan Richens 1989).
Di samping itu hubungan seks secara heteroseksual, bagi wanita Marind mempunyai makna tersendiri pula dalam hal, dimana cairan sperma yang tinggal dalam tumbuhnya itu akan membantu pertumbuhan badannya. Bila dihubungkan kegiatan homoseksual dan heteroseksual yang ada pada orang Melanesia, khususnya pada orang Papua di belahan selatan New Guinea (Papua), nampaknya kegiatan ini lebih banyak berhubungan dengan konteks kebudayaan mereka. Dampak dari hubungan seks secara homoseksual dan heteroseksual ini, timbullah berbagai masalah yang berhubungan dengan penyakit kelamin baik itu Penyakit Menular Seksual, HIV/AIDS.
Timbulnya Penyakit Seksual hingga HIV-AIDS
Pada tahun 1913, di daerah suku bangsa Marind-Anim, timbul suatu jenis penyakit yang ganas dan mulai melanda penduduk di kampung-kampung sepanjang pantai dan sungai-sungai di pedalaman . Penyakit ini timbul akibat pergaulan intim yang bebas antara laki-laki dan perempuan ditambah lagi dengan pergaulan ritual mengakibatkan bencana besar yang mengancam dan memusnahkan suku bangsa Marind-Anim. Pada saat itu pastor Johanes van de Kooy MSC sibuk merawat pasien dalam rumah sakit. Pada tahun 1921 datanglah seorang dokter ahli kelamin, dokter Cnopius dan dapat menolong musibah besar yang menimpa suku bangsa Marind-Anim sehingga menurunkan secara drastis jumlah orang yang sakit. Ternyata penyakit yang diderita suku bangsa Marind-Anim, adalah sejenis penyakit kelamin yang disebut granolome ( Duivenvoorde 1999:19-25).
Hal yang sama sekarang ini terjadi di belahan selatan Papua, khususnya di kalangan suku bangsa Marind-Anim, dimana telah dilanda suatu musibah besar dengan munculnya jenis penyakit kelamin yang lebih dahsyat lagi bila dibandingkan dengan granolome pada tahun 1913. Penyakit kelamin tersebut adalah jenis HIV/AIDS. Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Dunia pada umumnya, khususnya Afrika, Amerika dan Eropa pada dasawarsa 1980-an diguncang oleh suatu jenis virus yang dikenal dengan nama virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) . Virus ini melemahkan daya pertahanan tubuh manusia, sehingga mudah terserang berbagai macam penyakit.
Penyakit ini sangat mengganas, karena sejak ditemukan di Afrika, Eropa, dan Amerika, telah diupayakan mencari obat penangkalnya, tetapi belum ditemukan. Virus ini dapat ditularkan oleh penderita kepada orang lain melalui hubungan seksual (homoseksual maupun heteroseksual), transfusi darah, injeksi/suntikan, dan juga melalui alat-alat seperti: alat tato, pisau cukur: bila digunakan oleh penderita dan tidak disterilkan.
Meningkatnya kasus HIV/AIDS dan meluasnya daerah yang melaporkan kasus HIV/AIDS di Indonesia menjadi tantangan bagi program pencegahan HIV/AIDS. Berdasarkan prevalensi HIV/AIDS dapat dikatakan di Indonesia masih dikategorikan dalam “low level epidemic”. Namun pada sub populasi tertentu (PS dan IDU) di beberapa propinsi (Papua, DKI Jakarta) prevalensi HIV/AIDS secara konsisten masuk dalam concentrated level >5%. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan hingga Juli 2001 di Indonesia 630 orang, sehingga dapat meningkat kasus AIDS 1 per 100.000 penduduk. Papua prevalensinya dilaporkan 38 kali angka Nasional, diikuti Jakarta (9 kali) dan Bali (2 kali). Peningkatan tajam ini terjadi sejak tahun 1998.
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama kali di Indonesia pada tahun 1987, proporsi kasus AIDS pada perempuan dibandingkan pria terus meningkat dari 1 per 10 menjadi 1 per 4. Faktor dominan yang mempengaruhi perubahan juga mengalami perubahan dari pola hubungan homoseksual/biseksual menjadi heteroseksual. Di samping itu pula dikejutkan oleh hal lainnya adalah pesatnya peningkatan proporsi kasus AIDS pada pengguna NAPZA dengan jarum suntik (IDU/Injecting Drug Users) dari 0-1% pada tahun 1997-1998 meningkat tajam menjadi 13% hingga Juli 2000. Sedangkan TBC adalah infeksi oportunistik terpenting karena menyerang 50% penderita AIDS.
Kelompok-kelompok berperilaku resiko tinggi seperti Pekerja Seks Wanita yang di Merauke, Sorong, Karimun lebih dari 5%; sedangkan 1-5% untuk Riau, Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur; dan dibawah 1% untuk propinsi lainnya. Angka lebih dari 5% secara konsisten pada sub populasi tertentu mengidentifikasikan wilayah tersebut dapat dikategorikan pada concentrated level epidemic.(Aksi Stop AIDS, Program Pencegahan Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS., Kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Amerika Serikat. Oktober 2001. GOI-USAID/FHI Ditjen PPM & PL. Jakarta).
Situasi AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah keadaan seseorang yang mempunyai bermacam-macam gejala penyakit yang disebabkan turunnya kemampuan sistem kekebalan dalam tubuh. Sistem kekebalan tubuh manusia ditentukan oleh sel-sel darah putih, khususnya limphocit T atau CD-4. HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyerang limphosit T, yang dalam keadaan normal tubuh manusia terdapat 500-1500 limphosit T/mikroliter. Jika limphosit T ini turun menjadi <200/mikroliter, maka pada orang tersebut akan timbul gejala-gejala AIDS.(Gunawan, 2000: 25-26).
Mengingat masa inkubasi penyakit ini, maka dipastikan penduduk di wilayah Papua telah tertular virus HIV/AIDS pada tahun 1992 yang berarti 11 tahun kemudian sejak penyakit ini ditemukan pertama kali tahun 1981 di Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1992 diambil 112 sampel darah di Merauke dan 6 sampel darah memberikan hasil pemeriksaan yang positif dengan metode aglutinasi. Kemudian 6 sampel darah tersebut dikirim ke Jakarta untuk dikonfirmasi dengan metode Western Blot. Hasil umpan balik dari Jakarta pada bulan Januari 1993 menyatakan ke-enam sampel tersebut semuanya positif. Dengan demikian sejak saat itu secara resmi Papua, khususnya kota Merauke dinyatakan terlanda wabah AIDS. Pengidap HIV ini terdiri dari 2 orang WPSK (Wanita Pekerja Seks Komersial) Indonesia dan 4 orang nelayan berasal dari Thailand, (Gunawan,2000: 27-28). Data Kanwil Kesehatan Propinsi Papua bulan April 2000, tercatat 315 orang dan pertengahan bulan Mei 2000 bertambah menjadi 389 Odha (Orang Dengan HIV atau AIDS), dan pada akhir September 2000, terdapat 394 Odha, maka pada akhir tahun 2001 sudah mencapai 629 Odha (ASA-Lemlit Uncen, 2001: 2). Bila dihubungkan dengan teorifenomena “gunung es”, maka memasuki tahun 2002 jumlah Odha diperkirakan bisa mencapai 70.000 orang sampai 140.000 Odha yang hidup ditengah-tengah masyarakat Papua (La Pona, 2000: 3-4).
Dengan munculnya masalah penyakit HIV/AIDS di Papua sejak tahun 1992, maka daerah Kabupaten Merauke sudah menjadi daerah epidemi AIDS, karena dari 201 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi hingga akhir tahun 1998, ternyata 73,63% atau 148 kasus HIV/AIDS ditemukan di Merauke. (Yasanto,1999). Berdasarkan data terakhir hasil RAAP (Rapid Anthropology Assessment Procedure) Juli 2001 di Merauke terdapat 310 penderita HIV/AIDS. Berdasarkan hasil seminar HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah Papua kerjasama ASA Papua, telah tercatat bahwa sampai bulan Juni 2002 ini sudah mencapai angka sangat mengkhawatirkan. Menurut Chief Representative Aksi Stop AIDS (ASA) Papua, dr Gunawan Ingkokusumo, maka kasus HIV/AIDS berdasarkan data terakhir di Papua pada bulan Mei, berjumlah 840 kasus dan pada bulan Juni 2002 sudah menembus angka 993 kasus. Kasus HIV/AIDS yang ditemukan di Papua masih dominan disebabkan oleh hubungan seks (Gunawan 2002). Dari kasus tersebut di atas ternyata Merauke menempati urutan teratas, dimana pada Juli 2002 kasus HIV/AIDS telah menembus angka tertinggi yaitu 457 kasus yang semuanya masih dominan disebabkan oleh hubungan seks
( Rinta 2002). Menurut hasil Serosuvei, Desember 2002 untuk Merauke Januari 2003 menunjukkan angka terakhir pengidap HIV 220 orang dan AIDS sebanyak 307 orang dengan total kasus 527 orang. Sedangkan angka keseluruhan untuk Papua pengidap HIV sebesar 724 orang dan AIDS sebesar 539 orang dengan total keseluruhannya 1263 orang (Gunawan, Maret 2003).
Kesimpulan Dumatubun
Suku Bangsa Marind-Anim, sebagaimana suku bangsa lainnya di Papua secara cultural memiliki seperangkat pengetahuan yang mewujudkan perilaku seksual mereka. Secara nyata aktivitas seksual yang terwujud dalam perilaku itu terstuktur serta berfungsi secara baik dalam mendukung akvitas mereka berdasarkan interpretasi kebudayaannya. Konteks ini secara konkrit muncul dalam berbagai aktivitas hidup yang tertata baik dalam kebudayaan, baik dalam aktivitas inisiasi, perkawinan, mite, keseimbangan lingkunggan, pengobatan, kekuatan magi, kepemimpinan, pengayauan, serta upacara-upacara adat lainnya. Secara struktural-fungsional konteks tersebut lahir berdasarkan konteks kebudayaan yang mempunyai makna dan arti yang dapat menata secara baik kehidupan warganya.
Dasar utama dari berbagai aktivitas seksual baik secara homoseksual maupun heteroseksual di kalangan suku bangsa Marind-Anim itu berlandaskan pada konsep “kebudayaan semen “ atau “kebudayaan sperma”. Sperma bagi suku bangsa Marind-Anim merupakan suatu kekuatan yang diperoleh dari seorang pria yang perkasa, kuat. Sperma secara konseptual mempunyai makna yang kuat, sebagai konsep kesuburan, kecantikan, kekuatan menyembuhkan dan kekuatan mematikan. Sehingga di dalam aktivitas hidup suku bangsa Marind-Anim konsep sperma ini memainkan peranan penting dan terstruktur serta berfungsi secara baik dalam kehidupan kebudayaan. Perwujudan konkrit dari konsep sperma tersebut, terrealisasi dalam berbagai bentuk aktivitas adat dalam berbagai bentuk upacara-upacara secara religius.
Konsekuensi dari pengetahuan dan perilaku seksual suku bangsa Marind-Anim berdasarkan konteks kebudayaan mereka, apakah akan berdampak pada tumbuhnya berbagai penyakit menular di kalangan mereka? Tentu saja pertanyaan ini belum bisa terjawab, karena perlu dipertimbangkan pula bahwa kebudayaan tidak statis, karena bersifat dinamis. Hal ini berarti konsep tersebut dapat mengalami perubahan, tetapi konsep dasar secara hakiki masih dipegang teguh sebagai dasar kontrol kebudayaan mereka. Suku bangsa Marind-Anim tentu telah mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan kebudayaannya. Untuk itu perlu dikaji lebih mendalam lagi tentang aspek cultural yang berhubungan dengan perilaku seksual, apakah berubah dalam konteks yang lain dan disesuaikan dengan kehidupan dewasa ini, apakah berdampak terhadap penyakit menular seksual dan HIV/AIDS yang tinggi di kota Merauke. [HABIS]
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (1)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (2)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (3) HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (1)
HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (2)
0 Response to "HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (3)"
Posting Komentar